Periode tahun 1997 – 1999, saya mendapat kiriman artikel berjudul Alam Semesta Sebagai Sebuah Hologram dari
salah satu fisika di ITB. Beliau tidak menjelaskan siapa penulis asli dari
artikel ini, jadi saya tidak mengetahuinya, sepertinya semacam terjemahan
artikel bahasa Inggris.Saya sungguh berterima kasih pada rekan saya itu.
Alam Semesta Sebagai Sebuah Hologram
Pada tahun 1982 terjadi suatu peristiwa yang menarik. Di
Universitas Paris, sebuah tim peneliti dipimpin oleh Alain Aspect melakukan
suatu eksperimen yang mungkin merupakan eksperimen yang paling penting di abad
ke-20. Anda tidak mendapatkannya dalam berita malam. Malah, kecuali Anda biasa
membaca jurnal-jurnal ilmiah, Anda mungkin tidak pernah mendengar nama Aspect,
sekalipun sementara orang merasa temuannya itu mungkin akan mengubah wajah
sains.
Aspect bersama timnya menemukan bahwa dalam lingkungan tertentu
partikel-partikel subatomik, seperti elektron, mampu berkomunikasi dengan
seketika satu sama lain tanpa tergantung pada jarak yang memisahkan mereka.
Tidak ada bedanya apakah mereka terpisah 10 kaki atau 10 milyar km satu sama
lain.
Entah bagaimana, tampaknya setiap partikel selalu tahu apa yang
dilakukan oleh partikel lain. Masalah yang ditampilkan oleh temuan ini adalah
bahwa hal itu melanggar prinsip Einstein yang telah lama dipegang, yakni bahwa
tidak ada komunikasi yang mampu berjalan lebih cepat daripada kecepatan cahaya.
Oleh karena berjalan melebihi kecepatan cahaya berarti menembus dinding waktu,
maka prospek yang menakutkan ini menyebabkan sementara ilmuwan fisika mencoba
menyusun teori yang dapat menjelaskan temuan Aspect. Namun hal itu juga
mengilhami sementara ilmuwan lain untuk menyusun teori yang lebih radikal lagi.
Pakar fisika teoretik dari Universitas London, David Bohm,
misalnya, yakin bahwa temuan Aspect menyiratkan bahwa realitas obyektif itu
tidak ada; bahwa sekalipun tampaknya pejal [solid], alam semesta ini pada
dasarnya merupakan khayalan, suatu hologram raksasa yang terperinci secara
sempurna. Untuk memahami mengapa Bohm sampai membuat pernyataan yang
mengejutkan ini, pertama-tama kita harus memahami sedikit tentang hologram.
Sebuah hologram adalah suatu potret tiga dimensional yang dibuat dengan sinar
laser. Untuk membuat hologram, obyek yang akan difoto mula-mula disinari dengan
suatu sinar laser. Lalu sinar laser kedua yang dipantulkan dari sinar pertama
ditujukan pula kepada obyek tersebut, dan pola interferensi yang terjadi
(bidang tempat kedua sinar laser itu bercampur) direkam dalam sebuah pelat
foto.
Ketika pelat itu dicuci, gambar terlihat sebagai pusaran-pusaran
garis-garis terang dan gelap. Tetapi ketika foto itu disoroti oleh sebuah sinar
laser lagi, muncullah gambar tiga dimensional dari obyek semula di situ. Sifat
tiga dimensi dari gambar seperti itu bukan satu-satunya sifat yang menarik dari
hologram. Jika hologram sebuah bunga mawar dibelah dua dan disoroti oleh sebuah
sinar laser, masing-masing belahan itu ternyata masih mengandung gambar mawar
itu secara lengkap (tetapi lebih kecil).
Bahkan, jika belahan itu dibelah lagi, masing-masing potongan foto
itu ternyata selalu mengandung gambar semula yang lengkap sekalipun lebih
kecil. Berbeda dengan foto yang biasa, setiap bagian sebuah hologram mengandung
semua informasi yang ada pada hologram secara keseluruhan. Sifat “keseluruhan di
dalam setiap bagian” dari sebuah hologram, memberikan kepada kita suatu cara
pemahaman yang sama sekali baru terhadap organisasi dan order. Selama sebagian
besar sejarahnya, sains Barat bekerja di bawah prinsip yang bias, yakni bahwa
cara terbaik untuk memahami fenomena fisikal –baik seekor katak atau sebuah
atom– adalah dengan memotong-motongnya dan meneliti bagian-bagiannya. Sebuah
hologram mengajarkan bahwa beberapa hal dari alam semesta ini mungkin tidak
akan terungkap dengan pendekatan itu. Jika kita mencoba menguraikan sesuatu
yang tersusun secara holografik, kita tidak akan mendapatkan bagian-bagian yang
membentuknya, melainkan kita akan mendapatkan keutuhan yang lebih kecil.
Pencerahan ini menuntun Bohm untuk memahami secara lain temuan
Aspect. Bohm yakin bahwa alasan mengapa partikel-partikel subatomik mampu
berhubungan satu sama lain tanpa terpengaruh oleh jarak yang memisahkan mereka
adalah bukan karena mereka mengirimkan isyarat misterius bolak-balik di antara
satu sama lain, melainkan oleh karena keterpisahan mereka adalah ilusi. Bohm
berkilah, bahwa pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam, partikel-partikel
seperti itu bukanlah entitas-entitas individual, melainkan merupakan
perpanjangan [extension] dari sesuatu yang esa dan fundamental.
Agar khalayak lebih mudah membayangkan apa yang dimaksudkannya,
Bohm memberikan ilustrasi berikut: Bayangkan sebuah akuarium yang mengandung
seekor ikan. Bayangkan juga bahwa Anda tidak dapat melihat akuarium itu secara
langsung, dan bahwa pengetahuan Anda tentang akuarium itu beserta apa yang
terkandung di dalamnya datang dari dua kamera televisi: yang sebuah ditujukan
ke sisi depan akuarium, dan yang lain ditujukan ke sisinya. Ketika Anda menatap
kedua layar televisi, Anda mungkin menganggap bahwa ikan yang ada pada
masing-masing layar itu adalah dua ikan yang berbeda. Bagaimana pun juga,
karena kedua kamera diarahkan dengan sudut yang berbeda, masing-masing gambar
ikan itu sedikit berbeda satu sama lain. Tetapi sementara Anda terus memandang
kedua ikan itu, akhirnya Anda akan menyadari bahwa ada hubungan tertentu di
antara kedua ikan itu.
Kalau yang satu berbelok, yang lain juga membuat gerakan yang
berbeda tapi sesuai; jika yang satu menghadap kamera, yang lain menghadap ke
suatu sisi. Jika Anda tidak menyadari seluruh situasinya, Anda mungkin
menyimpulkan bahwa kedua ikan itu saling berkomunikasi secara seketika, tetapi
jelas bukan demikian halnya.
Menurut Bohm, inilah sesungguhnya yang terjadi di antara
artikel-partikel subatomik dalam eksperimen Aspect itu. Menurut Bohm, hubungan
yang tampaknya “lebih cepat dari cahaya” di antara partikel-partikel subatomik
sesungguhnya mengatakan kepada kita bahwa ada suatu tingkat realitas yang lebih
dalam, yang selama ini tidak kita kenal, suatu dimensi yang lebih rumit di luar
dimensi kita, dimensi yang beranalogi dengan akuarium itu. Tambahnya, kita
memandang obyek-obyek seperti partikel-partikel subatomik sebagai terpisah satu
sama lain oleh karena kita hanya memandang satu bagian dari realitas
sesungguhnya.
Partikel-partikel seperti itu bukanlah “bagian-bagian” yang
terpisah, melainkan faset-faset dari suatu kesatuan (keesaan) yang lebih dalam
dan lebih mendasar, yang pada akhirnya bersifat holografik dan tak terbagi-bagi
seperti gambar mawar di atas. Dan oleh karena segala sesuatu dalam realitas
fisikal terdiri dari apa yang disebut “eidolon-eidolon” ini, maka alam semesta
itu sendiri adalah suatu proyeksi, suatu hologram. Di samping hakekatnya yang
seperti bayangan, alam semesta itu memiliki sifat-sifat lain yang cukup
mengejutkan. Jika keterpisahan yang tampak di antara partikel-partikel
subatomik itu ilusif, itu berarti pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam
segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan secara tak terbatas.
Elektron-elektron di dalam atom karbon dalam otak manusia
berhubungan dengan partikel-partikel subatomik yang membentuk setiap ikan salem
yang berenang, setiap jantung yang berdenyut, dan setiap bintang yang
berkilauan di angkasa. Segala sesuatu meresapi segala sesuatu; dan sekalipun
sifat manusia selalu mencoba memilah-milah, mengkotak-kotakkan dan membagi-bagi
berbagai fenomena di alam semesta, semua pengkotakan itu mau tidak mau adalah
artifisial, dan segenap alam semesta ini pada akhirnya merupakan suatu jaringan
tanpa jahitan.
Di dalam sebuah alam semesta yang holografik, bahkan waktu dan
ruang tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang fundamental. Oleh karena
konsep-konsep seperti lokasi’ runtuh di dalam suatu alam semesta yang di situ
tidak ada lagi sesuatu yang terpisah dari yang lain, maka waktu dan ruang tiga
dimensional –seperti gambar-gambar ikan pada layar-layar TV di atas– harus
dipandang sebagai proyeksi dari order yang lebih dalam lagi.
Pada tingkatan yang lebih dalam, realitas merupakan semacam
superhologram yang di situ masa lampau, masa kini, dan masa depan semua ada
(berlangsung) secara serentak. Ini mengisyaratkan bawah dengan peralatan yang
tepat mungkin di masa depan orang bisa menjangkau ke tingkatan realitas
superholografik itu dan mengambil adegan-adegan dari masa lampau yang
terlupakan.
Apakah ada lagi yang terkandung dalam superhologram itu merupakan
pertanyaan terbuka. Bila diterima –dalam diskusi ini– bahwa superhologram itu
merupakan matriks yang melahirkan segala sesuatu dalam alam semesta kita, setidak-tidaknya
ia mengandung setiap partikel subatomik yang pernah ada dan akan ada — setiap
konfigurasi materi dan energi yang mungkin, dari butiran salju sampai quasar,
dari ikan paus biru sampai sinar gamma. Itu bisa dilihat sebagai gudang kosmik
dari “segala yang ada”.
Sekalipun Bohm mengakui bahwa kita tidak mempunyai cara untuk
mengetahui apa lagi yang tersembunyi di dalam superhologram itu, ia juga
mengatakan bahwa kita tidak mempunyai alasan bahwa superhologram itu tidak
mengandung apa-apa lagi. Atau, seperti dinyatakannya, mungkin tingkat realitas
superholografik itu “sekadar satu tingkatan”, yang di luarnya terletak
“perkembangan lebih lanjut yang tak terbatas.”
Bohm bukanlah satu-satunya peneliti yang menemukan bukti-bukti
bahwa alam semesta ini merupakan hologram. Dengan bekerja secara independen di
bidang penelitian otak, pakar neurofisiologi Karl Pribram dari Universitas
Stanford, juga menerima sifat holografik dari realitas. Pribram tertarik kepada
model holografik oleh teka-teki bagaimana dan di mana ingatan tersimpan di
dalam otak. Selama puluhan tahun berbagai penelitian menunjukkan bahwa
alih-alih tersimpan dalam suatu lokasi tertentu, ingatan tersebar di seluruh
bagian otak.
Dalam serangkaian penelitian yang bersejarah pada tahun 1920-an,
ilmuwan otak Karl Lashley menemukan bahwa tidak peduli bagian mana dari otak
tikus yang diambilnya, ia tidak dapat menghilangkan ingatan untuk melakukan
tugas-tugas rumit yang pernah dipelajari tikus itu sebelum dioperasi.
Masalahnya ialah tidak seorang pun dapat menjelaskan mekanisme penyimpanan
ingatan yang bersifat “semua di dalam setiap bagian” yang aneh ini.
Lalu pada tahun 1960-an Pribram membaca konsep holografi dan
menyadari bahwa ia telah menemukan penjelasan yang telah lama dicari-cari oleh
para ilmuwan otak. Pribram yakin bahwa ingatan terekam bukan di dalam
neuron-neuron (sel-sel otak), melainkan di dalam pola-pola impuls saraf yang
merambah seluruh otak, seperti pola-pola interferensi sinar laser yang merambah
seluruh wilayah pelat film yang mengandung suatu gambar holografik. Dengan kata
lain, Pribram yakin bahwa otak itu sendiri merupakan sebuah hologram. Teori
Pribram juga menjelaskan bagaimana otak manusia dapat menyimpan begitu banyak
ingatan dalam ruang yang begitu kecil. Pernah diperkirakan bahwa otak manusia
mempunyai kapasitas mengingat sekitar 10 milyar bit informasi selama masa hidup
manusia rata-rata (atau kira-kira sebanyak informasi yang terkandung dalam lima
set Encyclopaedia Britannica).
Demikian pula telah ditemukan bahwa di samping sifat-sifatnya yang
lain, hologram mempunyai kapasitas untuk menyimpan informasi — hanya dengan
mengubah sudut kedua sinar laser itu jatuh pada permukaan pelat film,
dimungkinkan untuk merekam banyak gambar berbeda pada permukaan yang sama.
Telah dibuktikan bahwa satu sentimeter kubik pelat film dapat
menyimpan sebanyak 10 milyar bit informasi. Kemampuan mengagumkan dari manusia
untuk mengambil informasi yang diperlukan dari gudang ingatan yang amat besar
itu dapat lebih dipahami jika otak berfungsi menurut prinsip-prinsip
holografik. Jika seorang teman minta Anda mengatakan apa yang terlintas dalam
pikiran ketika ia menyebut “zebra”, Anda tidak perlu tertatih-tatih melakukan
sorting dan mencari dalam suatu file alfabetis raksasa dalam otak untuk sampai
kepada suatu jawaban. Alih-alih, berbagai asosiasi seperti “bergaris-garis”,
“macam kuda”, dan “binatang dari Afrika” semua muncul di kepala Anda dengan
seketika.
Sesungguhnya, salah satu hal paling mengherankan tentang proses
berpikir manusia adalah bahwa setiap butir informasi tampaknya dengan seketika
berkorelasi-silang dengan setiap butir informasi lain– ini merupakan sifat
intrinsik dari hologram. Oleh karena setiap bagian dari hologram saling
berhubungan secara tak terbatas satu sama lain, ini barangkali merupakan contoh
terbaik dari alam tentang suatu sistem yang saling berkorelasi. Penyimpanan
ingatan bukan satu-satunya teka-teki neurofisiologis yang lebih dapat
dijelaskan dengan model otak holografik Pribram.
Teka-teki lain adalah bagaimana otak mampu menerjemahkan serbuan
frekuensi-frekuensi yang iterimanya melalui pancaindra (frekuensi cahaya,
frekuensi suara, dan sebagainya) menjadi dunia konkrit dari persepsi manusia.
Merekam dan menguraikan kembali frekuensi adalah sifat terunggul dari sebuah
hologram. Seperti hologram berfungsi sebagai semacam lensa, alat yang
menerjemahkan frekuensi-frekuensi kabur yang tak berarti menjadi suatu gambar
yang koheren, Pribram yakin bahwa otak juga merupakan sebuah lensa yang
menggunakan prinsip-prinsip holografik untuk secara matematis mengubah
frekuensi-frekuensi yang diterimanya melalui pancaindra menjadi persepsi di
dalam batin kita. Sejumlah bukti yang mengesankan mengisyaratkan bahwa otak
menggunakan prinsip-prinsip holografik untuk menjalankan fungsinya.
Sesungguhnya, teori Pribram makin diterima di kalangan pakar
neurofisiologi. Peneliti Argentina-Italia, Hugo Zucarelli, baru-baru ini
memperluas model holografik ke dalam fenomena akustik. Menghadapi teka-teki
bahwa manusia dapat menetapkan sumber suara tanpa menggerakkan kepalanya,
bahkan jika mereka hanya memiliki pendengaran pada satu telinga saja, Zucarelli
menemukan prinsip-prinsip holografik dapat menjelaskan kemampuan ini. Zucarelli
juga mengembangkan teknologi suara holofonik, suatu teknik perekaman yang mampu
mereproduksi suasana akustik dengan realisme yang mengagumkan. Keyakinan
Pribram bahwa otak kita secara matematis membangun realitas “keras” dengan
mengandalkan diri pada masukan dari suatu domain frekuensi juga telah mendapat
dikungan sejumlah eksperimen. Telah ditemukan bahwa masing-masing indra kita
peka terhadap suatu bentangan frekuensi yang jauh lebih lebar daripada yang
dianggap orang sebelum ini. Misalnya, para peneliti telah menemukan bahwa
sistem penglihatan kita peka terhadap frekuensi suara, bahwa indra penciuman
kita sebagian bergantung pada apa yang sekarang dinamakan “frekuensi osmik”,
dan bahkan sel-sel tubuh kita peka terhadap suatu bentangan luas frekuensi.
Temuan-temuan seperti itu menandakan bahwa hanya di dalam domain
kesadaran holografik saja frekuensi- frekuensi seperti itu dipilah-pilah dan
dibagi-bagi menjadi persepsi konvensional. Tetapi aspek yang paling
membingungkan dari model otak holografik Pribram adalah apa yang terjadi
apabila model itu dipadukan dengan teori Bohm. Oleh karena, bila kekonkritan
alam semesta ini hanyalah realitas sekunder dan bahwa apa yang ada “di luar
sana” sesungguhnya hanyalah kekaburan frekuensi holografik, dan jika otak juga
sebuah hologram dan hanya memilih beberapa saja dari frekuensi-frekuensi yang
kabur dan secara matematis mengubahnya menjadi persepsi sensorik, apa jadinya
dengan realitas yang obyektif?
Secara sederhana, realias obyektif itu tidak ada lagi. Seperti
telah lama dinyatakan oleh agama-agama dari Timur, dunia materi ini adalah
Maya, suatu ilusi, dan sekalipun kita mungkin berpikir bahwa kita ini makhluk
fisikal yang bergerak di dalam dunia fisikal, ini juga suatu ilusi. Kita ini
sebenarnya adalah “pesawat penerima” yang mengambang melalui suatu lautan
frekuensi kaleidoskopik, dan apa yang kita ambil dari lautan ini dan
terjemahkan menjadi realitas fisikal hanyalah satu channel saja dari sekian
banyak yang diambil dari superhologram itu.
Gambaran realitas yang baru dan mengejutkan ini, yakni sintesis
antara pandangan Bohm dan Pribram, dinamakan paradigma holografik, dan
sekalipun banyak ilmuwan memandangnya secara skeptik, paradigma itu
menggairahkan sementara ilmuwan lain. Suatu lingkungan kecil ilmuwan –yang
jumlahnya makin bertambah– percaya bahwa paradigma itu merupakan model realitas
yang paling akurat yang pernah dicapai sains.
Lebih dari itu, sementara kalangan percaya bahwa itu dapat
memecahkan beberapa misteri yang selama ini belum dapat dijelaskan oleh sains,
dan bahkan dapat menegakkan hal-hal paranormal sebagai bagian dari alam. Banyak
peneliti, termasuk Bohm dan Pribram, mencatat bahwa banyak fenomena
para-psikologis menjadi lebih dapat dipahami dalam kerangka paradigma
holografik. Dalam suatu alam semesta yang di situ otak individu sesungguhnya
adalah bagian yang tak terbagi dari hologram yang lebih besar dan segala
sesuatu saling berhubungan secara tak terbatas, maka telepati mungkin tidak
lebih dari sekadar mengakses tingkat holografik itu. Jelas itu jauh lebih mudah
dapat memahami bagaimana informasi dapat berpindah dari batin individu A kepada
batin individu B yang berjauhan, dan memahami sejumlah teka-teki yang belum
terpecahkan dalam psikologi. Khususnya, Grof merasa bahwa paradigma holografik
menawarkan model untuk memahami banyak fenomena membingungkan yang dialami orang
dalam keadaan “kesadaran yang berubah” [altered states of consciousness].
Pada tahun 1950-an, ketika melakukan penelitian terhadap anggapan
bahwa LSD adalah alat penyembuhan psikoterapi, Grof mempunyai seorang pasien
wanita yang tiba-tiba merasa yakin bahwa dia mempunyai identitas seekor reptil
betina prasejarah. Selama halusinasinya, dia tidak hanya menguraikan secara
amat mendetail tentang bagaimana rasanya terperangkap dalam wujud seperti itu,
melainkan juga mengatakan bahwa bagian anatomi binatang jantan adalah sepetak
sisik berwarna pada sisi kepalanya.
Yang mengejutkan Grof ialah bahwa, sekalipun wanita itu sebelumnya
tidak mempunyai pengetahuan tentang hal-hal itu, suatu percakapan dengan
seorang ahli zoologi belakangan menguatkan bahwa pada beberapa spesies reptilia
tertentu bagian-bagian berwarna dari kepala memainkan peran penting untuk
membangkitkan birahi. Pengalaman wanita itu bukan sesuatu yang unik. Selama
penelitiannya, Grof bertemu dengan pasien-pasien yang mengalami regresi dan mengenali
dirinya sebagai salah satu spesies dalam deretan evolusi. Tambahan pula, ia
mendapati bahwa pengalaman-pengalaman seperti itu sering kali mengandung
informasi zoologis yang jarang diketahui yang belakangan ternyata akurat.
Regresi ke dalam dunia binatang bukanlah satu-satunya fenomena psikologis yang
menjadi teka-teki yang ditemukan Grof. Ia juga mempunyai pasien-pasien yang
tampak dapat memasuki alam bawah sadar kolektif atau rasial. Orang-orang yang
tidak terdidik tiba-tiba memberikan gambaran yang terperinci tentang praktek
penguburan Zoroaster dan adegan-adegan dari mitologi Hindu. Jenis pengalaman
yang lain adalah orang-orang yang memberikan uraian yang meyakinkan tentang
perjalanan di luar tubuh, atau melihat sekilas masa depan yang akan terjadi,
atau regresi ke dalam inkarnasi dalam salah satu kehidupan lampau.
Dalam riset-riset lebih lanjut, Grof menemukan bentangan fenomena
yang sama muncul dalam sesi-sesi terapi yang tidak menggunakan obat-obatan
[psikotropika]. Oleh karena unsur yang sama dalam pengalaman-pengalaman seperti
itu tampaknya adalah diatasinya kesadaran individu yang biasanya dibatasi oleh
ego dan/atau dibatasi oleh ruang dan waktu, Grof menyebut fenomena itu sebagai
“pengalaman transpersonal”, dan pada akhir tahun 1960-an ia membantu mendirikan
cabang psikologi yang disebut “psikologi transpersonal” yang sepenuhnya
mengkaji pengalaman-pengalaman seperti itu.
Sekalipun perhimpunan yang didirikan oleh Grof, Perhimpunan
Psikologi Transpersonal [Association of Transpersonal Psychology], menghimpun
sekelompok profesional yang jumlahnya semakin bertambah, dan telah menjadi
cabang psikologi yang terhormat [di kalangan sains], selama bertahun-tahun Grof
maupun rekan-rekannya tidak dapat memberikan suatu mekanisme yang dapat
menjelaskan berbagai fenomena psikologis aneh yang mereka saksikan. Tetapi
semua itu berubah dengan lahirnya paradigma holografik.
Sebagaimana dicatat Grof baru-baru ini, jika batin memang bagian
dari suatu kontinuum, suatu labirin yang berhubungan bukan hanya dengan setiap
batin lain yang ada dan yang pernah ada, melainkan berhubungan pula dengan
setiap atom, organisme, dan wilayah di dalam ruang dan waktu yang luas itu
sendiri, maka fakta bahwa batin kadang-kadang bisa menjelajah ke dalam labirin
itu dan mengalami hal-hal transpersonal tidak lagi tampak begitu aneh.
Paradigma holografik juga mempunyai implikasi bagi sains-sains “keras” seperti
biologi. Keith Floyd, seorang psikolog di Virginia Intermont College,
mengatakan bahwa jika realitas yang konkrit tidak lebih dari sekadar ilusi
holografik, maka tidak benar lagi pernyataan yang mengklaim bahwa otak
menghasilkan kesadaran.
Alih-alih, justru kesadaranlah yang menciptakan perwujudan dari
otak — termasuk juga tubuh dan segala sesuatu di sekitar kita yang kita
tafsirkan sebagai fisikal. Pembalikan cara melihat struktur-struktur biologis
seperti itu menyebabkan para peneliti mengatakan bahwa ilmu kedokteran dan
pemahaman kita mengenai proses penyembuhan juga dapat mengalami transformasi
berkat paradigma holografik ini. Jika struktur yang tampaknya fisikal dari
badan ini tidak lain daripada proyeksi holografik dari kesadaran, maka jelas
bahwa masing-masing dari kita jauh lebih bertanggung-jawab bagi kesehatan diri
kita daripada yang dinyatakan oleh pengetahuan kedokteran masa kini.
Apa yang sekarang kita lihat sebagai penyembuhan penyakit yang
bersifat “mukjizat” mungkin sesungguhnya disebabkan oleh perubahan-perubahan
dalam kesadaran yang pada gilirannya mempengaruhi perubahan-perubahan dalam
hologram badan jasmani. Demikian pula, teknik-teknik penyembuhan baru yang
kontroversial, seperti visualisasi, mungkin berhasil baik oleh karena dalam
domain pikiran yang holografik gambar-gambar pada akhirnya sama nyatanya dengan
“realitas”. Bahkan berbagai vision dan pengalaman yang menyangkut realitas yang
“tidak biasa” dapat dijelaskan dengan paradigma holografik.
Dalam bukunya “Gifts of Unknown Things”, pakar biologi Lyall
Watson menceritakan pertemuannya dengan seorang dukun perempuan Indonesia yang
dengan melakuan semacam tarian ritual, mampu melenyapkan sekumpulan pepohonan.
Watson mengisahkan, sementara ia dan seorang pengamat lain terus memandang
perempuan itu dengan takjub, ia membuat pepohonan itu muncul kembali, lalu
melenyapkannya dan memunculkannya lagi beberapa kali berturut – turut.
Sekalipun pemahaman saintifik masa kini tidak mampu menjelaskan
peristiwa-peristiwa seperti itu, berbagai pengalaman seperti ini menjadi lebih
mungkin jika realitas “keras” tidak lebih dari sekadar proyeksi holografik.
Mungkin kita sepakat tentang apa yang “ada” atau “tidak ada” oleh
karena apa yang disebut “realitas konsensus” itu dirumuskan dan disahkan di
tingkat bawah sadar manusia, yang di situ semua batin saling berhubungan tanpa
terbatas. Jika ini benar, maka ini adalah implikasi paling dalam dari paradigma
holografik, oleh karena hal itu berarti bahwa pengalaman-pengalaman sebagaimana
dialami oleh Watson adalah tidak lazim hanya oleh karena kita tidak memprogram
batin kita dengan kepercayaan-kepercayaan yang membuatnya lazim.
Di dalam alam semesta yang holografik, tidak ada batas bagaimana
kita dapat mengubah bahan-bahan realitas. Yang kita lihat sebagai ‘realitas’
hanyalah sebuah kanvas yang menunggu kita gambari dengan gambar apa pun yang
kita inginkan. Segala sesuatu adalah mungkin, mulai dari membengkokkan sendok
dengan kekuatan batin sampai peristiwa-peristiwa fantastik yang dialami oleh
Castaneda selama pertemuannya dengan dukun Indian. Jadi sebenarnya bahkan
sihirpun tidak lebih dan tidak kurang adikodratinya daripada kemampuan kita menghasilkan
realitas yang kita inginkan ketika kita bermimpi.
Sesungguhnya, bahkan paham-paham kita yang paling mendasar tentang
realitas patut dipertanyakan, oleh karena di dalam alam semesta holografik,
sebagaimana ditunjukkan oleh Pibram, bahkan perisitiwa yang terjadi secara acak
[random] harus dilihat sebagai berdasarkan prinsip holografik dan oleh karena
itu bersifat determined. ‘Sinkronisitas’ atau peristiwa-peristiwa kebetulan
yang bermanfaat, tiba-tiba masuk akal, dan segala sesuatu dalam realitas harus
dilihat sebagai metafora, oleh karena bahkan peristiwa yang paling kacau
mengungkapkan suatu simetri tertentu yang mendasarinya.
Apakah paradigma holografik Bohm dan Pribram akan diterima oleh
sains atau tenggelam begitu saja masih akan kita lihat, tetapi pada saat ini
agaknya dapat dikatakan bahwa paradigma itu telah berpengaruh terhadap
pemikiran sejumlah ilmuwan. Dan bahkan jika kelak terbukti bahwa model
holografik tidak memberikan penjelasan terbaik bagi komunikasi seketika yang
tampaknya berlangsung bolak-balik di antara partikel-partikel subatomik,
setidak-tidaknya, sebagaimana dinyatakan oleh Basil Hiley, seorang pakar fisika
di Birbeck College di London, temuan Aspect “menunjukkan bahwa kita harus siap
mempertimbangkan paham-paham baru yang radikal mengenai realitas.”
Note : Bagi penggemar Harun Yahya, ada artikel yang sangat erat
hubungannya dengan tulisan diatas, silahkan ikuti link ini :
http://www.harunyahya.com/indo/artikel/077.htm